Jakarta – Pemerintah dan DPR RI mengesahkan UU IE-CEPA (Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement). EFTA (European Free Trade Association) adalah asosiasi perdagangan bebas di Eropa yang anggotanya yang terdiri dari 4 negara yaitu Islandia, Norwegia, Swiss, dan Liechtenstein.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menilai melalui CEPA akan terjadi penghapusan atau penurunan ribuan pos tarif dari kedua pihak yang diharapkan akan meningkatkan arus perdagangan. Meskipun demikian, terdapat kemungkinan negara-negara EFTA lebih mampu memanfaatkan peluang ini dibandingkan dunia usaha Indonesia.
“Diperlukan strategi akses pasar yang kuat agar CEPA ini tidak memberikan tekanan pada neraca perdagangan. Selain itu, CEPA ini harus dimanfaatkan bukan hanya untuk peningkatan perdagangan barang, tetapi juga investasi, perdagangan jasa dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan,” tulis Laporan yang ditulis Mohamad D. Revindo, Sabtu (24/4/2021).
Hubungan perdagangan antara dua pihak cukup dinamis. Selama 10 tahun terakhir neraca perdagangan Indonesia dengan empat negara EFTA pernah mencatat surplus pada 2015-2017 dan 2020, selebihnya defisit.
“Jika dilihat secara lebih detil, Indonesia cenderung mencatat defisit terhadap Norwegia dan Islandia, tetapi surplus terhadap Swiss dan Liechtenstein,” jelasnya.
Komoditas Indonesia yang sebelumnya telah mampu masuk ke pasar EFTA di antaranya adalah adalah perhiasan, arang, ban, furnitur dan kopi. Komoditas EFTA yang sebelumnya telah mampu masuk ke pasar Indonesia diantaranya adalah persenjataan, perhiasan, tinta cetak, ikan, pupuk, minyak ikan dan aluminum foil.
Adapun produk impor EFTA yang selama ini diimpor dari berbagai negara tapi bukan dari Indonesia, sehingga bisa menjadi potensi untuk Indonesia dengan adanya CEPA diantaranya adalah komponen kendaraan bermotor, komponen telepon, minyak nabati, serta besi dan baja.
Dari sisi prediksi nilai perdagangan akibat CEPA, diperkirakan impor Indonesia dari EFTA akan naik lebih cepat daripada ekspor Indonesia ke EFTA, sehingga mungkin terjadi tekanan pada neraca perdagangan.
“Melalui sebuah simulasi sederhana dengan aplikasi GTAP (Global Trade Analysis Project), dengan permisalan kedua pihak mengeliminasi 50% tarif untuk seluruh jenis produk, maka hasilnya adalah kenaikan ekspor Indonesia (Rp 385 miliar) lebih kecil daripada perkiraan kenaikan impornya dari EFTA (Rp 682 miliar). Tentu ini hanyalah simulasi awal untuk bahan perumusan strategi. Realisasi manfaat dari CEPA masih sangat tergantung dari kinerja dunia usaha nasional dalam memanfaatkan peluang yang terbuka,” katanya.
Karena adanya kemungkinan tekanan pada neraca perdagangan, maka Indonesia harus mengambil manfaat lain dari CEPA. Pertama, fokus menggunakan pasar EFTA untuk produk industri pengolahan yang bernilai tambah, untuk memperkuat industri pengolahan domestik dan menghindari ketergantungan Indonesia terhadap ekspor produk primer seperti karet dan batu bara.
“Kalaupun ada produk primer yang mungkin masih bisa dikedepankan untuk pasar EFTA adalah minyak sawit, sebagai jalan masuk ke Eropa di tengah resistensi Uni Eropa atas minyak sawit Indonesia. Kedua, menarik investasi berkualitas dari EFTA. Negara-negara EFTA dikenal sebagai sumber investasi asing langsung bagi ke berbagai Negara di dunia dengan fokus sektor berikut: Liechtenstein dan Swiss pada sektor Keuangan dan perbankan; Islandia dan Swiss pada sektor farmasi, kimia, dan plastik; Norwegia pada ekstraksi pertambangan dan migas; Islandia pada sektor energi panas bumi; serta Swiss dan Norwegia pada sektor manufaktur dan jasa logistik,” tulisnya. (*/cr9)
Sumber: finance.detik.com