Dana Abadi, atau yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan endowment fund, sejatinya bukanlah konsep yang baru. Dewasa ini konsep tersebut tengah semakin populer, karena dinilai dapat menjadi solusi keuangan dalam membiayai organisasi. Bahkan negara pun menerapkan konsep tersebut untuk membiayai berbagai program.
Sebagai contoh, Kementerian Keuangan selama ini menghimpun Dana Abadi LPDP, yang hingga tahun ini angkanya sudah tembus 80 trilyun rupiah. Dengan asumsi keuntungan investasinya sekitar 10% per tahun (low risk investment), berarti ada 8 trilyun rupiah dana per tahun yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai program LPDP, tanpa sepeser pun mengurangi dana pokoknya yang sebesar 80 trilyun tersebut.
Konon, Dana Abadi paling gigantik dimiliki oleh Universitas Harvard dan Bill & Melinda Gates Foundation yang masing-masing nilainya mencapai lebih dari 40 milyar USD. Dengan hasil keuntungan investasi seraksasa itu, Bill Gates berhasil menyandang gelar sebagai salah satu filantropis terbesar abad ini. Duit pribadinya tetap utuh, bahkan terus bertambah, tapi di waktu yang sama mampu melakukan social spending yang besar.
Saya sering merenung, bukankan konsep ini seharusnya bisa digunakan untuk berbagai kepentingan dan tujuan? Untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan di atas muka bumi, misalnya? Atau di tingkat negara, untuk membuat semua warganya tanpa terkecuali mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana, atau bahkan doktor, misalnya? Atau perguruan tinggi bisa menggunakan cara tersebut untuk menggratiskan 50% mahasiswanya, misalnya? Atau di level paling mikro, untuk menghapus kemiskinan di setiap desa, melalui penghimpunan Dana Abadi yang dilakukan di tingkat desa, misalnya? Bukankah seharusnya semua itu possible dilakukan?
Mari sejenak “meng-halu”. Kita sedikit bermain dengan statistik sederhana. Kali ini kita akan mencoba mencari cara untuk menghapus kemiskinan di seluruh dunia.
Di dunia ini, kurang lebih ada 8 milyar penduduk (kita bulatkan saja). Orang miskinnya ada 10%, alias 800-an juta jiwa, menurut ukuran World Bank, yakni mereka yang pengeluarannya hanya 1,9 USD/hari per kapita. For your information, uniknya prosentase penduduk miskin di Indonesia juga 10%, tapi menurut BPS.
Baiklah, kita bicara global dulu. Apabila kebutuhan dana orang miskin itu 1,9 USD per hari (biar gampang anggap saja 2 USD per hari), itu berarti kebutuhan mereka adalah sebesar 720 USD per tahun. Nah, bagaimana kalau semua kebutuhan warga miskin dunia tersebut di-cover total oleh Dana Abadi? Dengan asumsi keuntungan investasi 10% per tahun, itu berarti kita butuh kontribusi 7.200 USD Dana Abadi per orang. Kira-kira nilainya 100 juta per orang.
Nah, apabila 10% orang termiskin dunia (800-an juta jiwa) “ditanggung” hidupnya full oleh 10% orang terkaya dunia (800-an juta jiwa pula), maka per kepala orang terkaya dunia hanya diminta donasinya sebesar 100 juta rupiah. Which is menurut saya jumlah tersebut terbilang kecil bagi mereka. Toh, dana 100 juta rupiah (7.200 USD) milik mereka tersebut tidak berkurang sepeserpun. Yang digunakan untuk menanggung hidup orang miskin adalah dana keuntungan investasinya saja.
Dengan perhitungan yang tidak jauh berbeda, hal ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Jika 10% orang terkaya Indonesia (sekitar 27 juta jiwa) mau merelakan uang pribadinya senilai 100 juta rupiah per kepala untuk Dana Abadi Republik, maka dalam tempo sesingkat-singkatnya, jumlah penduduk miskin negeri ini menjadi 0%.
Untuk ruang lingkup yang lebih kecil dan spesifik, konsep Dana Abadi juga sangat feasible diterapkan, oleh organisasi manapun. Bahkan hingga level keluarga. Atau kalau warga se-RT kompak, tidak menutup kemungkinan sekelas RT memiliki Dana Abadi.
Untuk level keluarga, jika ingin membangun “life security” anak-cucu hingga tujuh turunan, konsep low risk investment sangat mungkin untuk dilakukan. Kalau per keluarga (minimal middle-class family) mampu berinvestasi (misalnya deposito) senilai 1 milyar, itu berarti keluarga tersebut akan mendapatkan keuntungan investasi 100 juta tiap tahunnya, sampai jangka waktu tidak terbatas selama modal dasarnya masih utuh.
Saya sering berkelakar, kalau nggak kerja sampai matipun insya Allah masih bisa hidup. Dengan life style sederhana tentunya. Kecuali kalau kita investasi 10 M, dapat 1 M tiap tahun, alias 83,33 juta per bulan. Itu sih nggak cuma hidup, tapi bisa keliling dunia tiap minggu. Itulah mengapa, di atas kertas, para konglomerat itu hampir tidak mungkin jatuh miskin sampai tujuh turunan. Kecuali ada force majeur!
Tapi mungkin sebagian dari anda (terutama yang berprofesi entrepreneur) akan berkata “lah daripada 10 M buat deposito cuma dapat 10% per tahun, mending di putar untuk bisnis, bisa jadi 2-3 kali lipat dalam setahun!”. Untuk hal ini, saya hanya mengatakan “monggo bro, itu pilihan”. Sebetulnya, kita bisa melakukan keduanya: deposito iya, bisnis juga iya (tapi ingat duitnya bisa justru lenyap). Hal itu tergantung manajemen keuangan pribadi/keluarga masing-masing.
Kembali ke Dana Abadi (endowment fund). Kelihatannya mudah secara teori, tapi praktiknya tentu tidak semudah itu. Beberapa perguruan tinggi besar saja baru start menghimpun Dana Abadi beberapa tahun terahir. Kesuksesannya biasanya sangat ditentukan oleh public trust. Kalau kepercayaan masyarakat kuat, Dana Abadi tidak hanya akan terkumpul dari para alumni, tapi juga dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan dari korporasi. Variabel kreativitas manajemennya juga sangat menentukan.
Tapi apakah konsep ini feasible dilakukan? Of course! Dan sebaiknya memang dilakukan di setiap institusi/organisasi yang kita ikuti, atau lembaga tempat kita bekerja. Dalam status facebook saya tulis “endowment fund is the great solution to make organization rich”.
Namun, yang perlu digarisbawahi, dan bagi saya ini yang paling penting, adalah “watak sosial” yang harus embedded dalam setiap pemanfaatan Dana Abadi. Dana ini merupakan amanah publik, yang wajib sampai kepada publik, dengan sasaran yang tepat demi kemaslahatan kolektif.
Secara teori, sekali lagi di atas kertas, konsep ini bahkan bisa mengatasi masalah-masalah raksasa dunia, seperti menghapus kemiskinan dan kelaparan global, atau pandemi global sekalipun. Di tingkat negara, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, desa, RW, RT, perusahaan besar, UMKM, koperasi, sekolah, perguruan tinggi, ormas, LSM dan seterusnya, konsep ini lebih mungkin dijalankan. Potensi-potensi kendala dan tantangan, entry barriers, tentu tetap akan muncul. Pertanyaannya hanya satu: kapan kita akan memulai?
*Penulis adalah pengusaha, dosen dan aktivis sosial; Sekretaris Bidang Kajian Ekonomi dan Industri Pengurus Pusat (PP) KBPII.
Komentar