oleh

Copot Kapolri, IPW Dorong Pembentukan Tim Pencari Fakta

JAKARTA, SIN.CO.ID – Peristiwa penembakan yang menewaskan enam anggota FPI di Tol Cikampek, Jawa Barat pada Senin (7/12/2020) dini hari, terus menjadi perhatian publik. Ini terjadi pada saat semua pihak, mencoba meredam situasi dan kondisi menjelang gelaran Pilkada Serentak yang berlangsung 9 Desember mendatang.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane cukup terkejut dangan informasi yang tersaji. Terlebih antara versi Polri dan versi FPI sangat jauh berbeda penjelasannya.

“Presiden Jokowi harus segera mencopot Kapolri Jenderal Idham Azis dan Kabaintelkam Polri Komjen Rycko Amelza. Ini terkait dengan peristiwa tersebut,” terang Neta dalam keterangan resmi yang diterima, Siber Indonesia Network (SIN).

Ditambahkan Neta, dalam kondisi ini, pihaknya mendorong pembengtukan Tim Pencari Fakta Independen untuk mengungkapkan, apa yang terjadi sebenarnya.

“Polri menyebut anggotanya ditembak Laskar Khusus FPI yang mengawal Rizieq. Apakah benar bahwa Laskar FPI itu membawa senjata dan menembak polisi? ini yang harus diperdalam,” terangnya.

Pembetukan Tim Pencari Fakta tersebut, sangat memungkinkan agar fakta-fakta yang ada terusngkap termasuk siapa yang “bermain” dalam kasus penembakan yang terjadi.

“Kasus ini jangan sampai kabur. Harus terang-benderang. IPW juga meminta anggota Polri yang terlibat perlu diamankan terlebih dahulu untuk dilakukan pemeriksaan,” jelasnya.

Sebab menurut Siaran Pers FPI, rombongan Rizieq lah yang lebih dulu dihadangan sekelompok orang yang berpakaian sipil, sehingga mereka menduga akan dirampok orang tak dikenal di jalan tol.

Dalam kasus Cikampek ini muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, jika benar FPI mempunyai laskar khusus yang bersenjata, kenapa Baintelkam tidak tahu dan tidak melakukan deteksi dan antisipasi dini serta tidak melakukan operasi persuasif untuk melumpuhkannya.

Kedua, apakah penghadangan terhadap rombongan Rizieq di KM 50 Tol Cikampek arah Karawang Timur itu sudah sesuai SOP. Mengingat polisi penghadang mengenakan mobil dan pakaian preman.

Ketiga, jika Polri menyebutkan bahwa anggotanya ditembak lebih dulu oleh Laskar Khusus FPI, berapa jumlah tembakan itu dan adakah bukti bukti, misalnya ada mobil polisi yang terkena tembakan atau proyektil peluru yg tertinggal.

Baca Juga  Pemda Lebak Diduga Tutup Mata.’Terkait Galian Tanah di Desa Citeras.

Keempat, dimana TKP tewas tertembaknya keenam anggota Laskar Khusus FPI itu karena menurut rilis FPI keenam anggotanya itu diculik bersama mobilnya di jalan tol.

Kelima, keenam anggota FPI yang tewas ditembak itu bukanlah anggota teroris, sehingga polisi wajib melumpuhkannya terlebih dahulu karena polisi lebih terlatih dan polisi bukan algojo tapi pelindung masyarakat.

Keenam, jalan tol adalah jalan bebas hambatan sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol adalah sebuah pelanggaran hukum, kecuali sipengandara nyata nyata sudah melakukan tindak pidana.

Ketujuh, penghadangan yang dilakukan oleh mobil sipil dan orang orang berpakaian preman, patut diduga sebagai pelaku kejahatan di jalan tol, mengingat banyak kasus perampokan yang terjadi di jalanan yang dilakukan orang tak dikenal.

Jika polisi melakukan penghadangan seperti ini sama artinya polisi tsb tidak promoter. “Dengan tewas tertembaknya keenam anggota FPI itu, yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Kapolri Idham Azis,” terangnya.

Ditambahkan Neta, tidak promoternya Idham Azis dalam mengantisipasi kasus Rizieq sudah terlihat sejak kedatangan pimpinan FPI itu di Bandara Soetta. “Tidak diantisipasi dengan profesional tapi terbiarkan hingga menimbulkan masalah,” jelasnya.

Warning dari Kapolda Metro Jaya

Sementara itu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Fadil Imran menyatakan akan menindak tegas pengikut pimpinan FPI Rizieq Shihab yang berupaya menghalang-halangi penyidikan proses hukum terkait kerumunan massa.

“Saya dan Pangdam Jaya mengimbau kepada MRS dan pengikutnya untuk tidak menghalang-halangi proses penyidikan,” kata Fadil di Mapolda Metro Jaya.

Fadil menegaskan tindakan tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan petugas tidak akan segan untuk melakukan tindakan tegas dan terukur terhadap aksi tersebut sesuai aturan yang berlaku.

“Tindakan tersebut adalah tindakan melanggar hukum dan dapat dipidana, dan apabila tindakan menghalangi petugas membahayakan jiwa petugas, saya bersama Pangdam tidak akan akan ragu melakukan tindakan tegas,” tegas mantan Kapolda Jawa Timur itu.

Pada kesempatan itu, Fadil juga mengungkapkan petugas Polda Metro Jaya menembak mati enam orang pengikut Rizieq Shihab lantaran melakukan penyerangan menggunakan senjata api dan senjata tajam terhadap petugas yang tengah melakukan penyelidikan.

Baca Juga  Himbauan Jema'ah Haul Tetap Laksanakan Protokol Kesehatan

“Terhadap kelompok MRS yang melakukan penyerangan kepada kepada anggota dilakukan tindakan tegas dan meninggal dunia sebanyak enam orang,” ujar Fadil.

Fadil menjelaskan kejadian itu terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM50 pada Senin sekitar pukul 00.30 WIB dini hari.

Kejadian berawal saat petugas menyelidiki informasi soal pengerahan massa saat dilakukan pemeriksaan terhadap Rizieq di Mapolda Metro Jaya.

“Ketika anggota Polda Metro Jaya mengikuti kendaraan yg diduga adalah pengikut MRS , kendaraan petugas dipepet lalu kemudian diserang dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam,” urai Fadil.

Fadil mengatakan terdapat 10 orang yang melakukan penyerangan, namun empat orang melarikan diri usai petugas menembak mati enam pelaku.

Tidak korban jiwa maupun luka dari pihak kepolisian, hanya ada kerugian materi dari sebuah kendaraan rusak karena dipepet serta terkena tembakan dari kelompok yang melakukan penyerangan. Saat ini polisi masih melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut dan melakukan pengejaran terhadap pelaku.

Kutuk Keras Aksi Penembakan

Menanggapi kasus penyerbuan atau penculikan laskar FPI, Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia KBPII, mengutuk keras aksi tersebut. Kasus ini harus dituntaskan secara transparan.

Kami berharap pihak kepolisian mengusut tuntas kasus yang menimpa tim laskar FPI. Jangan sampai kasus ini menjadi semacam kasus Tanjung Priok di tahun 1984.

Kala itu juga ada orang tertembak oleh aparat. Dan sampai kini kasusnya terus mengambang tak jelas,” kata Nasrullah Larada, seperti dilansir, irham.co.id.

Menurut Nasrullah, Indonesia adalah negara hukum, beradab dan beretika. Maka sudah sepantasnya semua aksi brutal ala preman tidak layak hidup di bumi persada NKRI ini. “Ini menjadi tragedi buruk, apalagi bila ada merasa paling hebat dan ada yang back up, siapapun dia,” jelasnya.

Ditambahkannya, Bangsa Indonesia bisa merdeka dari penjajahan Belanda dan Jepang, tak lain berkat perjuangan para Ulama, Kiyai, Habaib dan seluruh umat Islam Indonesia yang mayoritas penghuni NKRI.

Baca Juga  Respon Temuan TPGF di Intan Jaya, DPR: Ungkap Dalang Sampai Akarnya

“Maka sangat wajar jika seluruh umat Islam, siapapun dia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kerukunan,” tegasnya lagi.

Oleh karenanya, lanjut Nasrullah, menjadi sangat naif jika ada tudingan bahwa umat Islam akan menghancurkan atau menggadaikan NKRI. ”Andai itu ada, dipastikan 1000% pelakunya bukan para Ulama, Kiyai, Habaib atau Ormas Islam,” tandasnya.

Terkait kasus penembakan yang membuat enam anggota FPI meninggal harus ada orang atau pihak yang bertanggungjawab. Komnas HAM pun harus segera membuat tim independen untuk mengusut kasus ini.

”Para petinggi atau pejabat terkait harus berani bertangungjawab. Ini bukan masalah main-main. Sekali lagi ini tragedi,” paparnya.

Dikatakan Nasrullah, pada masa lalu, yakni pada tahun 1980-an, suasana politik memang mirip saat ini. Kala itu umat Islam dituduh melakukan aksi gerakan teroris dengan sebutan Komando Jihad. Pada saat yang sama kala itu terjadi debat seru mengenai asas tunggal.

”Islam kala itu dicurigai sebagai ektrim kanan yang ingin mendirikan negara Islam. Sosoknya persis kaum kiri yang kala itu juga dituduh ingin mendirikan negara komunis. Nah, persaingan politik melebar ke mana-mana. Waktu itu juga ada golongan oposisi seperti KAMI, yakni Petisi 50,” ujarnya.

Menjawab apa yang dimaksud Petisi 50 pada tahun 1980-an atau sezaman dengan meletusnya Peristiwa Tanjung Priok, Nasrullah mengatakan para anggota kelompok itu tokoh pendiri bangsa yang menerbitkan petisi “Ungkapan Kerpihatinan” pada 5 Mei 1980 di Jakarta.

Petisi itu ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin dan mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir.

“Kala itu geger sekali. Maka saya serukan juga agar kasus penembakan anggota FPI ini jangan sampai melebar menjadi kasus seperti Tanjung Priok atau konflik bernuanasa umat Islam, seperti Warsidi, Islam Jamaah, hingga Haur Koneng di tahun-tahun berikutnya. Kami sudah lelah melihat konflik,” kata Nasrullah. (oke/alx)

Komentar

News Feed