JAKARTA, SIN.CO.ID – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengancam akan memecat kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Dalam Instruksi Mendagri No 6/2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19, pemerintah memerintahkan kepala daerah untuk menegakkan secara konsisten protokol kesehatan daerah masing-masing.
Jika melanggar akan ada sanksi, mulai dari teguran, pengurangan hak keuangan hingga pencopotan dari jabatan.
“Kepala daerah harus menjadi teladan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan,” bunyi instruksi Mendagri tersebut.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pemberhentian kepala daerah tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Menurut dia, pemberhentian kepala daerah karena melanggar UU tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang karena melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Mahkamah Agung.
“Prosesnya panjang bisa dari hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat. Formatnya adalah Sidang Paripurna DPRD lalu baru kemudian diajukan ke MA,” ujar dia.
“Baru setelah ada putusan MA, presiden dapat memberhentikan kepala daerah di bawahnya.”
“Syarat-syarat proses pemberhentian kepala daerah sudah diatur dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” tambah dia.
Sarat muatan politik
Dia menilai instruksi tersebut sangat politis dan ditujukan hanya kepada salah satu kepala daerah.
“Mendagri sendiri tidak mematuhi protokol kesehatan yang ada di dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dia ikut berperan dalam Pilkada serentak di tengah pandemi,” kata dia.
Dia memastikan instruksi menteri dalam negeri tersebut tidak bermakna apapun.
“Jadi instruksi itu kesannya saja gahar tapi tidak punya nilai,” pungkas dia.
Pengamat Politik Hendri Satrio menilai ancaman yang dikeluarkan oleh Menteri Tito tersebut membuktikan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
“Karena kalau sampai ada punishment pada seorang yang dipilih dalam proses demokrasi ini berat. Karena memang ada struktur hierarki antara pusat dan daerah,” kata dia.
Dia menyarankan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan komunikasi dan koordinasi.
“Jadi tidak perlu ada ancaman serta punishment. Apalagi ancaman ini dikeluarkan paska-insiden yang terjadi di Jakarta. Ini bisa diterjemahkan sebagai ancaman politis,” jelas dia.
Dikutip dari media lokal, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menanggapi ancaman Menteri Tito mengatakan bahwa pencopotan kepala daerah tidaklah mudah.
“Tidak semudah yang diperkirakan. Itu kan harus keputusan presiden dan itu dari hasil pemilihan umum,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Namun menurut Sultan instruksi itu memiliki sisi positif, yakni kepala daerah dan warga menjadi konsisten menjalankan protokol kesehatan.
“Dalam arti memang bagaimana kepala daerah, kebijakan itu harus konsisten dan masyarakatnya juga harus konsisten,” kata dia.
Pemerintah tak berwenang berhentikan kepala daerah
Guru besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan instruksi Menteri Tito tidak bisa menjadi dasar hukum pemberhentian kepala daerah.
Menurut dia, Instruksi Presiden, Instruksi Menteri dan sejenisnya hanyalah perintah tertulis pada jajaran di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
“Bahwa dalam Instruksi Mendagri No 6/2020 itu ada ancaman kepada kepala daerah, hal itu bisa saja terjadi,” ujar dia
Menurut dia presiden tidak berwenang mengambil inisiatif memberhentikan kepala daerah, begitu juga Menteri dalam negeri.
“Jika kepala daerah tidak melaksanakan protocol kesehatan, maka proses pemakzulan harus melalui DPRD,” ujar dia. (kdt/alx)
Komentar