oleh

MAHASISWA SOLOPRENEUR

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.

Di bawah langit kampus yang penuh idealisme, ribuan mahasiswa berjalan setiap hari dengan ransel penuh buku, mimpi, dan harapan. Di balik wajah-wajah penuh semangat itu, tersembunyi pula realitas yang tidak selalu ringan: tekanan ekonomi, ketimpangan akses, dan dilema eksistensial tentang masa depan. Namun justru dari keterbatasan-keterbatasan itulah lahir ruang kreatif bagi mereka yang berani mendobrak batas—mereka yang memilih jalur solopreneurship.

Solopreneur—istilah yang berasal dari gabungan kata “solo” dan “entrepreneur”—mengacu pada individu yang membangun dan menjalankan usaha secara mandiri, tanpa tim inti atau struktur organisasi formal. Berbeda dengan entrepreneur konvensional yang biasanya menyiapkan ekosistem bisnis yang kompleks, seorang solopreneur bekerja dengan model lean business, yakni bisnis ramping yang memaksimalkan efisiensi dan teknologi, tanpa kehilangan visi jangka panjang.

Mahasiswa berada dalam posisi yang unik dalam lanskap ini. Mereka mungkin belum memiliki modal finansial yang besar, namun kaya akan intellectual capital (modal intelektual), social network (jaringan sosial), dan digital literacy (literasi digital)—tiga elemen kunci dalam membangun bisnis modern yang agile dan adaptif. Keterbatasan finansial sering kali justru memaksa munculnya inovasi. Inilah yang oleh para pakar disebut sebagai constraint-based innovation: kreativitas yang lahir karena dibatasi, bukan dimanjakan.

Baca Juga  Gerindra Terima Penghargaan Partai Paling Informatif dari Wakil Presiden

Seorang mahasiswa dengan laptop pinjaman dan koneksi internet kampus, misalnya, dapat membangun personal brand di media sosial, menjual jasa desain, menerbitkan e-book, bahkan mengelola dropshipping business tanpa menyentuh barang secara fisik. Inilah keindahan dari era digital—barriers to entry (hambatan masuk) dalam dunia bisnis semakin tipis. Yang dibutuhkan adalah entrepreneurial mindset: cara berpikir yang melihat peluang di tengah masalah, dan mengambil risiko secara terukur.

Tentu menjadi solopreneur bukan perkara sekadar “cari cuan” atau eksploitasi peluang ekonomi. Di balik aktivitas bisnis yang tampak pragmatis, ada proses self-discovery—pencarian diri yang sangat personal. Mahasiswa yang membangun usaha sendiri belajar mengenali kekuatan dan kelemahannya, mengelola waktu, berkomunikasi, hingga belajar gagal tanpa menyerah. Semua itu tidak selalu bisa diajarkan di ruang kuliah, tetapi menjadi pembelajaran hidup yang otentik.

Namun perjalanan ini tidak selalu mulus. Banyak mahasiswa yang terjebak dalam hustle culture—kultur kerja tanpa henti yang memuja produktivitas tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mental. Ada pula yang mengalami burnout, merasa tidak cukup karena membandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial. Di sinilah pentingnya membangun narasi alternatif: bahwa menjadi solopreneur bukan soal kecepatan sukses, melainkan sustainable growth—pertumbuhan yang berkelanjutan, baik secara profesional maupun personal.

Baca Juga  KAMMI Serang Raya Usung Tema Banten Dalam Pusaran Korupsi

Mahasiswa juga perlu menyadari bahwa menjadi solopreneur bukan berarti berjalan sendiri dalam arti sesungguhnya. Di era kolaborasi digital, relasi tidak selalu dibangun dalam ruang fisik. Komunitas daring, forum diskusi, dan jaringan mentor menjadi sumber daya penting untuk bertumbuh. Ini yang oleh sosiolog disebut sebagai networked individualism—di mana individu tetap bisa otonom sambil terhubung dalam jaringan yang luas.

Penting juga untuk memaknai ulang konsep kegagalan. Dalam konteks solopreneurship, gagal bukan akhir, tetapi bagian dari iterasi. Prinsip fail fast, learn faster mengajarkan bahwa kecepatan dalam mengidentifikasi kesalahan dan memperbaikinya adalah kekuatan, bukan kelemahan. Mahasiswa yang gagal dalam satu model bisnis justru memperoleh pembelajaran yang tidak bisa diberikan oleh teori.

Lebih jauh, menjadi solopreneur di usia muda juga berarti melatih kepekaan terhadap perubahan zaman. Dunia kerja mengalami disruption—perubahan besar-besaran akibat teknologi dan preferensi generasi. Karier linear tak lagi relevan; pekerjaan masa depan lebih cair, fleksibel, dan berbasis project-based economy. Dalam konteks ini, menjadi solopreneur bukan sekadar alternatif, tetapi kadang menjadi jalan utama untuk bertahan dan relevan.

Baca Juga  Pemimpin dan Skill Komunikasi

Apa yang dibutuhkan mahasiswa hari ini bukan semata modal uang, tapi sense of agency—kesadaran bahwa mereka mampu mengambil kendali atas hidup dan masa depannya sendiri. Kampus idealnya menjadi enabler, bukan penghambat; menyediakan ruang untuk eksplorasi, akses terhadap pelatihan praktis, dan dukungan moral. Negara pun perlu hadir dengan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada youth entrepreneurship, misalnya melalui subsidi startup digital, penyediaan co-working space, dan pelatihan literasi keuangan.

Di balik semua itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan: menjadi solopreneur adalah perjalanan yang memanusiakan. Ia menggabungkan logika dan emosi, strategi dan empati, akal dan intuisi. Mahasiswa yang berani menempuh jalan ini sedang belajar menjadi manusia utuh—yang tidak hanya mengejar untung, tetapi juga makna.

*Penulis adalah Dosen Kewirausahaan Universitas BTH & Direktur Kemitraan Perkumpulan Program Studi Kewirausahaan Indonesia (APSKI); Pemerhati Kewirausahaan Asia Tenggara.

News Feed