#Cerita, SIN.co.id – Suatu hari Ibnu Sina bersama teman-temannya melakukan perjalanan di sebuah kota. Dalam perjalanan itu, Ibnu Sina dan teman-temannya bertemu dengan seorang bijak dan alim bernama Hayy bin Yaqzhan. Karena sangat tertarik dengan keilmuan dan kepribadian Hayy, Ibnu Sina pun memohon kepada Hayy untuk bisa menemani perjalanan Hayy, kemanapun dia mau pergi. Hayy yang mengerti kapasitas Ibnu Sina dalam sekilas pandangannya, menola permintaan Ibnu Sina tersebut. Kepada Ibn Sina, Hayy menjelaskan bahwa tidak mungkin Ibnu Sina bisa mengikutinya karena Ibnu Sina masih sangat terikat dengan teman-teman yang mengirinya.
Cerita diatas bukanlah cerita sesungguhnya tentang Ibn Sina. Namun itu adalah novel alegoris Ibnu Sina sendiri dalam bukunya yang berjudul Hayy bin Yaqzhan. Dalam novel tersebut, profil Ibnu Sina adalah wakil dari orang yang serba sangat rasional. Sementara teman-teman Ibnu Sina adalah orang yang terlalu berkutat dengan hal-hal indrawi atau mengikuti segala keinginnya. Sementara Hayy adalah sufi bijak dan alim. Jadi meski Ibnu Sina adalah orang yang pintar dan rasional, dia tidak akan pernah bisa mengikuti jejak Hayy yang alim dan bijak karena Ibnu Sina masih terikat dengan hal-hal bendawi dan mengikuti hawa nafsu.
Cerita Hayy bin Yaqzhan yang lain datang dari Ibnu Thufail. Seorang filosof Andalusia, dokter dan penasehat kerajaan yang juga dikenal sangat alim dan cerdas. Ibn Thufail yang hidup sepanjang 1110-1185. Dalam novel nya yang juga berjudul Hayy bin Yaqzhan, Ibn Thufail menceritakan seorang Hayy yang hidup di sebuah pulau terpencil dan hanya diasuh oleh seorang Rusa betina.
Suatu ketika Rusa betina yang selama ini mengasuh Hayy, meninggal dan ketika melihat jasad Rusa tersebut, Hayy mendapat pelajaran penting tentang jasad dan jiwa. Hayy berkesimpulan mestinya dalam hidup ini ada sesuatu yang tidak terlihat tapi itulah yang menjadi penggerak utama. Kesimpulan itu datang karena Rusa yang mengasuhnya sudah tidak bisa bergerak lagi, namun semua organ tubuh nya masih lengkap sempurna. Tidak ada yang kurang.
Setelah itu Hayy bertemu dengan Absal yang alim dan bijak yang mau bertafakur di pulau tempat Hayytinggal. Dari Absal lah Hayy mendapat berbagai macam pencerahan tentang apa itu Allah, Quran, Sunnah, Nabi dan merasa apa yang dipaparkan Absal itu tidak jauh berbeda dengan hasil refleksinya selama ini. Setelah itu Hayy mengikuti saran Absal untuk menyebarkan hasil refleksinya ke dunia luar dan bertemu dengan Salaman yang mempunyai pengikut yang banyak. Namun Hayy kesulitan menyebarkan hasil refleksinya yang sangat substansial tersebut. Banyak orang yang tidak bisa menerima cara pandang Hayy tentang agama.
Seperti juga Ibnu Sina, melalui Hayy bin Yaqzhan, Ibn Thufail sedang membuat novel alegoris tentang Agama dan filsafat. Karena pada masa itu sedang ada konfrontasi antara Agama yang pemahamannya berdasar wahyu dan Filsafat yang pemahamannya berdasar nalar kritis, Ibn Thufail sedang ingin mendamaikan keduanya. Menurut Ibn Thufail, tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Sebagaimana dikatakan temannya Ibn Rusyd, akal dan wahyu itu ikwanul ar rodhoah, saudara sepersusuan.
Sebagaimana alegori Hayy bin Yaqzhan dari Ibnu Sina dan Ibn Thufail, mungkin seperti itulah sepertinya kita memahami novel Laila Majnun yang ditulis Syaikh Nizami Ganjazavi. Seorang penyair Persia yang hidup sepanjang tahun 1141-1209 M yang dikenal sebagai penyair epik-romantik terbesar dalam sejarah kesusastraan Persia. Dilahirkan di Ganja, sekarang menjadi negara Ajerbeizan, Nizami adalah penyair yang juga dikenal sebagai seorang filosof.
Layla Majnun sendiri adalah syair-syair liris tentang kisah kasih tak sampai Qais dan sepupunya Layla yang melegenda di arabia dan Persia pada abad 12. Namun di tangan Nizami, legenda ini dibangkitkan kembali dan menjadikannya semakin terkenal dan sangat disukai. Nizami memadukan unsur-unsur sastra gurun Arabia dengan sastra Persia sehingga menghasilkan roman yang indah dan sulit dilupakan. Karena luar biasanya karya Nizami ini konon Layla Majnun inilah yang mengilhami William Shakespeare saat menulis naskah drama “Romeo and Juliet”
Namun bila kita membaca novel “Layla Majnun” seperti kita membaca hikayat Hayy bin Yaqzhan dari Ibnu Sina dan Ibnu Thufail diatas, maka kita akan menemukan makna lain tentang “Layla Majnun”. Novel ini pada akhirnya tidak sedang membicarakan cinta Layla dan Majnun yang kandas, tetapi justru menceritakan tentang hakekat Cinta itu sendiri. Apa yang terjadi pada kehidupan manusia bila Cinta sudah merasuk sedemikian dalam pada dirinya utamanya Cinta pada Tuhan.
Majnun pada akhirnya hanyalah sebuah metafor dari manusia yang sangat mencintai Tuhan nya. Adapun Layla dalam banyak hal bukan hanya sifat seorang manusia yang juga dirasuki Cinta seperti Majnun, tapi kadang merepresentasikan sikap Tuhan yang Cinta terhadap makhluk yang mencintainya. Sementara Ibnu Salam yang mencintai Layla karena keelokan parasnya, adalah represenatasi dari orang yang mencintai hal-hal fisikal yang temporal artificial.
Dengan asumsi Saudi Arabia serta Persia pada waktu Nizami Ganjavi hidup dipengaruhi Islam, maka dalam memahami novel yang sangat kental nuansa sufistik ini, ada baiknya mencerna lebih dahulu apa yang disampaikan Ali bin Abi Thalib tentang cara manusia beribadah atau membangun hubungan dengan Tuhan nya.
Menurut Ali bin Abi Thalib, ada tiga karakter manusia ketika beribadah kepada Tuhan. Karakter pertama adalah manusia yang beribadah dengan pola hamba yang dikenal sangat takut pada tuannya. Melalui pola ini, manusia beribadah karena takut akan Tuhan. Sebab Tuhan menyebutkan akan menyiksa manusia bila tidak mengikuti perintahnya. Karakter kedua atau karakter diatasnya adalah manusia yang beribadah memakai pola pedagang. Melalui pola ini, manusia beribadah karena berharap mendapat balasan pahala dari Tuhan. Karena Tuhan memang sudah menjanjikan akan memberikan pahala bila manusia beribadah.
Sementara pola ketiga adalah manusia yang beribadah kepada Tuhan karena Cinta. Pada karakter ini, manusia sudah tidak lagi melihat Tuhan sebagai sosok menakutkan seperti para hamba, atau tidak berhitung untung rugi seperti pedagang. Manusia beribadah karena memang Cinta pada Tuhan. Karakter peribadatan seperti inilah yang menurut Ali bin Abi Thalib sebagai karakter peribadatan tertinggi. Diatas karakter ibadah hamba dan ibadah pedagang. Manusia beribadah bukan karena takut atau berharap untung rugi, tapi semata Cinta pada Tuhan. Ibadah berdasar Cinta adalah ibadah tanpa pamrih. Ibadah seperti inilah yang kerap dipraktekkan para sufi.
Dalam konteks inilah Nizami mengeksplorasi apa yang akan dialami manusia ketika manusia dirasuki Cinta. Eksplorasi ini tidak hanya diwujudkan Nizami dalam syair-syair romantis dan sangat sufistik, tapi juga pada karakter Majnun, Layla dan termasuk Ibnu Salam.
Nama asli Majnun sendiri adalah Qais. Masyarakat memanggilnya Majnun, yang berarti gila, karena perilaku nya yang berubah seperti orang gila sejak mencintai Layla. Hanya anehnya meski disebut gila, karena cinta nya Majnun bisa menghasilkan syair-syair romantis tentang Cinta yang menggugah dan menyadarkan banyak masyarakat. Nizami seolah ingin mengatakan bahwa siapapun yang mencintai Tuhan nya, maka meski dia dianggap gila oleh sekelilingnya namun kesadaran dan kecerdasannya berada diatas rata-rata manusia sehingga manusia bisa terinspirasi oleh syair-syair yang digubahnya.
Hal menarik dari sosok Majnun adalah ketika Nizami menggambarkan Majnun sebagai orang yang dipandang hina dan hidup terkucil dari masyarakat karena kegilaannya, tapi hidupnya sangat terjaga dan terlindungi. Majnun bisa merasakan kenikmatan hanya dengan memakan dedaunan dan binatang-binatang buas yang ditakuti masyarakat, semuanya menjadi pelindung Majnun. Keakraban Majnun dengan binatang buas ini akan mengingatkan kita kepada hikayat Hasan al-Bashri yang karena kesufiannya, tidak lagi ditakuti burung-burung yang selalu takut pada manusia.
Secara diametral, Nizami menghadirkan sosok Ibnu Salam. Seorang lelaki gagah yang juga terpukau dengan kecantikan Layla. Ibnu Salam yang berhasil menjadi suami Layla pada akhirnya bukan menghadapi hidup tragis dengan cinta nya terhadap Layla, tetapi hidupnya pun berakhir tragis. Meski berstatus suami Layla, Ibnu Salam hanya memiliki status suami. Ibnu Salam bukan hanya tidak bisa memiliki hati Layla, bahkan fisik nya pun tidak bisa dijamah. Pada akhirnya Ibnu Salam meninggal karena cinta nya dan pada saat meninggal, Layla sama sekali tidak merasa kehilangan.
Ada banyak jejak ajaran sufistik yang bisa kita temukan di novel ini. Mungkin diantara jejak-jejak sufistik pada novel ini bukan hanya akan kita temukan di Bab 16 ketika Nizami mengurai kisah seorang Raja dan seorang Darwis sebagai sebuah kesesuaian dengan kehidupan yang dijalani Majnun, tetapi juga akan kita temukan di halaman akhir novel ini. Ketika seorang Zayd yang terpukau dengan Cinta Layla Majnun bermimpi mengenai kedua orang ini. Berikut saya kutipkan renungan Zayd di halaman akhir buku ini ;
“Maka barang siapa yang ingin hidup bahagia di alam itu maka ia harus mampu memupus nafsu dunia ini. Ibarat debu yang suatu saat nanti akan sirna, dunia ini fana adanya, tiada keabadian. Maka, janganlah engkau nodai jiwamu dengan kelam nafsu dunia. Wahai permata yang terkubur, keluarlah dari pertambangan! Permata sejati tak akan ditemukan di dalam tanah. Pasrahkan dirimu dalam genggaman cinta, bebaskan dirimu dari belenggu keangkuhanmu. Melesatlah bersama cinta sepert anak panah yang terhempas dari busurnya menuju sasarannya. Cintailah yang melepas simpul-simpul keberadaan, pembebas dari belenggu keangkuhan. Adalah cinta, yang mengisi cawan-cawan kesedihan yang menggerogoti jiwa dengan luapan kehidupan segar. Sepahit minuman, akan terasa manis dalam cangkir yang tersepuh cinta. Cinta pada Sang Kekasih adalah sebaik-baik bekal. Jika kau telah menggemgam bekal cinta pada Sang Kekasih itu, sepahit apapun minuman, hingga yang beracun sekalipun, tiadalah mengundang ketakutan. Pengalaman-pengalaman getir yang menyiksa, jika ada cinta di dalamnya, terasa semanis surga”. (*/Deli)
Komentar