Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University
Setiap hari, aku menempuh perjalanan sejauh 54 kilometer untuk berkuliah di IPB University. Aku adalah mahasiswa semester 4 program studi Komunikasi Digital dan Media. Banyak teman-temanku yang memilih untuk kos di dekat kampus, tetapi aku tetap memilih untuk pulang ke rumah di Gunung Putri setiap harinya. Bukan karena aku tidak bisa ngekos, tetapi karena ada sesuatu yang lebih berharga bagiku dibanding sekadar tinggal lebih dekat dengan kampus.
Tantangan di Jalanan
Perjalanan ini sudah menjadi bagian dari hidupku sejak semester pertama. Dalam kondisi normal, perjalanan ini memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Tapi, aku tidak bisa selalu mengandalkan waktu normal itu. Kemacetan sering kali memperpanjang durasi perjalananku menjadi hampir 2 jam.
Apalagi jalur yang kulewati adalah kawasan industri yang dipenuhi truk besar. Debu jalanan menjadi teman setiaku, terutama saat musim kemarau. Rasanya baru sampai di kampus sudah kusut dan lelah.
Selain itu, ada hari-hari di mana aku harus pulang larut karena tugas atau kegiatan organisasi. Ketika itu terjadi, aku sering merasa sangat mengantuk di perjalanan pulang. Aku berusaha tetap fokus agar tetap aman di jalan. Aku tahu risikonya, tapi aku juga tahu bahwa perjalanan ini adalah pilihanku sendiri.
Terkadang lebih menyulitkan adalah saat musim hujan tiba. Bogor dikenal sebagai Kota Hujan, dan benar saja, akhir-akhir ini hujan turun hampir setiap hari. Jas hujan memang membantuku tetap kering, tetapi tetap saja ada bagian yang basah. Sampai di kampus dengan celana lembab bukanlah hal yang menyenangkan.
Jalanan pun semakin macet ketika hujan turun, sehingga waktu tempuh ku bisa lebih lama dari biasanya. Dilema Antara Kos atau Tetap Pulang Terkadang, aku merasa ingin menyerah dan memutuskan untuk ngekos saja.
Aku pernah mengeluhkan hal ini kepada orang tuaku. Respons mereka sebenarnya cukup mendukung, mereka tidak masalah jika aku ingin ngekos, asal aku merasa nyaman. Tapi, justru aku sendiri yang akhirnya ragu.
Aku pernah menginap di kos teman karena ada acara pagi yang mengharuskanku datang lebih awal. Malam itu, aku merasakan kesepian yang berbeda.
Tidak ada suara gaduh dari keluargaku, tidak ada aroma masakan ibuku di pagi hari, dan tidak ada bapakku yang selalu menungguku pulang sebelum akhirnya tidur. Aku menyadari bahwa rumah adalah tempat yang selalu membuatku nyaman, tak peduli seberapa jauh jaraknya dari kampus.
Aku tidak ingin kehilangan momen-momen berharga bersama keluargaku. Aku takut jika aku memutuskan untuk ngekos, waktu yang aku habiskan dengan mereka akan jauh berkurang.
Setiap pagi, aku menikmati masakan ibu yang selalu membuat sarapan untukku. Setiap malam, bapakku menungguku pulang meskipun sudah larut. Aku tahu, mungkin suatu hari nanti aku akan hidup mandiri jauh dari mereka, tetapi untuk saat ini, aku ingin menikmati setiap momen yang masih bisa aku habiskan bersama mereka.
Aku ingin menikmati kehangatan rumah selama aku masih bisa. Lebih dari Sekadar Perjalanan Seiring waktu, aku mulai melihat perjalanan ini dari perspektif yang berbeda. Awalnya, perjalanan ini hanya sekadar kewajiban, tetapi kini aku melihatnya sebagai bagian dari proses yang membentuk diriku. Aku belajar untuk lebih sabar, lebih teratur dalam mengatur waktu, dan lebih menghargai hal-hal kecil di sekitarku.
Di jalan, aku memiliki waktu untuk berpikir. Terkadang, ide-ide kreatif muncul ketika aku sedang mengendarai motor.
Aku mengamati orang-orang di jalanan, melihat berbagai ekspresi dan cerita yang tersembunyi dalam keramaian. Ada pekerja yang berangkat pagi dengan wajah lelah, ada anak sekolah yang bercanda dengan temannya di angkot, dan ada pengendara lain yang juga mungkin sedang memikirkan sesuatu seperti aku.
Aku juga semakin bersyukur karena perjalanan ini memberiku perspektif yang lebih luas. Aku melihat betapa banyak orang yang harus bekerja keras setiap harinya, menempuh perjalanan lebih jauh dan lebih sulit dariku.
Mereka tidak punya pilihan selain melakukannya demi kehidupan yang lebih baik. Hal itu membuatku semakin menghargai kesempatan yang aku miliki untuk bisa kuliah dan mengejar impianku.
Kini, aku tidak lagi melihat perjalanan 54 kilometer ini sebagai beban. Aku melihatnya sebagai bagian dari perjalananku, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional. Setiap hari aku belajar sesuatu yang baru, setiap hari aku semakin memahami makna perjalanan ini. Mungkin aku lelah, mungkin aku sering merasa ingin menyerah, tetapi aku tahu bahwa perjalanan ini akan selalu menjadi bagian dari kisahku yang tidak akan tergantikan.